SEJARAH DAN ASAL USUL BENDERA MERAH
– PUTIH
A. DARI GULA KELAPA HINGGA MERAH PUTIH
“ Berkibarlah
benderaku, lambang suci gagah perwira, di seluruh pantai Indonesia, kau tetap
pujaan bangsa, siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela …….Sang
Merah-Putih yang perwira, berkibarlah selama-lamanya ”.
Lagu diatas
diciptakan oleh Ibu Soed tentang bendera Merah-Putih, bendera Indonesia.
Bendera Merah-Putih ? Sebenarnya hanya terdiri atas dua potong kain saja yang
terdiri dari warna Merah berada diatas dan warna Putih berada dibawah yang
kemudian dijahit menjadi satu. Namun kedua potong kain inilah yang menjadi
lambang kebesaran bangsa Indonesia, ciri khas Indonesia, serta menjadi lambang
kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas banyak suku yang Bhinneka Tunggal
Ika.
Sang Merah-Putih selalu berkibar dan
disambut dengan sangat syahdu dan penuh perasaan hormat pada setiap hari
Nasional maupun hari-hari kemenangan dalam bidang prestasi, serta upacara
lainnya. Bendera kebangsaan bukan hanya sebagai lambang ataupun ciri khas
bangsa Indonesia, tetapi dari pada itu Sang Merah-Putih telah menjadi bagian
dari bagian setiap insan Indonesia. Dia telah mendarah daging, menjadi sumsum
yang mengalir selamanya dalam diri rakyat Indonesia.
Dua potong kain Dwi warna yang kita
kenal sekarang sebagai Bendera kebangsaan Bangsa Indonesia ini telah di
kukuhkan sebagai lambang kebesaran bangsa Indonesia melalui Pasal 35
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bendera kebangsaan Indonesia adalah Sang
Merah-Putih, serta Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958 tentang Peraturan
Bendera Kebangsaan Republik Indonesia. Merah yang bermakna berani karena
benar dan Putih yang bermakna suci. Pengorbanan yang besar telah ditorehkan
rakyat Indonesia untuk Sang Merah-Putih ! Hal ini dapat dibuktikan dalam
sejarah kebangsaan sejak 17 Agustus 1945 Sang Merah-Putih berkibar diseluruh
tanah air dan tanggal 29 September 1950 berkibar di markas Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Berdasarkan kajian seorang
sejarahwan Prof. H. Muhammad Yamin,
jejak sejarah Merah-Putih di mulai sejak 6.000 tahun yang lalu, di mana bukti
sejarah menunjukkan bahwa nenek moyang kita telah melakukan pemujaan terhadap
Matahari dan Bulan. Matahari di wakili warna Merah, dan Bulan di lambangkan
dengan warna Putih.
Kajian Prof. H. Muhammad
Yamin menunjukkan cukup banyak bukti untuk membuktikan teorinya. Bila teorinya
tentang pemujaan Matahari dan Rembulan yang kemudian menciptakan derivate warna
Merah dan Putih sejak 6.000 tahun yang lalu merupakan teori yang universal,
setidaknya beliau mempunyai bukti yang membumi mengenai kehadiran Merah-Putih
di bumi Indonesia.
Adanya ukiran pada dinding
Candi Borobudur (dibangun pada awal abad ke- 9) menjadi salah-satu bukti awal
beliau, di mana pada ukiran tersebut menggambarkan tiga orang hulubalang
membawa umbul-umbul berwarna gelap dan terang, di duga melambangkan warna Merah
dan Putih. Keterangan untuk ukiran itu menyebutnya sebagai Pataka atau Bendera.
Catatan-catatan lain sekitar Borobudur juga sering menyebut bunga Tunjung
Mabang (Merah) dan Tunjung Maputeh (Putih). Ukiran yang sama juga tampak di
Candi Mendut, tidak jauh Candi Borobudur, yang kurang lebih bertarikh sama.
Dari bukti ukiran Candi
Borobudur ini, Prof. H. Muhammad Yamin dengan rajin mengumpulkan banyak bukti
sejarah lain yang dapat di kaitkan dengan pemujaan terhadap lambang, warna
Merah dan Putih di setiap celah budaya Nusantara. Di bekas kerajaan Sriwijaya
tampak pula berbagai peninggalan dengan unsur-unsur warna Merah dan Putih.
Antonio Pigafetta, seorang pencatat dalam pelayaran Marcopolo di abad 16,
dalam kamus kecilnya yang berisi 426 kata-kata Indonesia, memasukan entri Cain
Mera dan Cain Pute, yang di terjemahkan sebagai Al Panno Rosso et Al Panno
Bianco. Bila tidak sering melihat kombinasi Merah-Putih sebagai satu kesatuan,
mungkinkah Pigafetta memasukkannya sebagai sebuah entri ?
Empat warna utama dalam mitologi jawa, yakni Merah sebagai lambang amarah,
Putih sebagai lambang Mutmainnah, Kuning sebagai lambang Supiah, dan Hitam
sebagai lambang Luwainnah. Dua keraton di Solo, misalnya menggunakan
lambang-lambang warna itu sebagai benderanya. Keraton Susuhunan Paku Buwono
memakai symbol Timur – Selatan yang di lambangkan dengan warna Gula-Kelapa atau
Merah-Putih. Sedangkan Keraton Mangku Negoro memakai symbol Barat-Utara yang
dilambangkan dengan warna Hijau-Kuning. Getaran warna Hijau sama dengan warna
Hitam lambang Luwainnah.
Warna Merah dan Putih
tidak hanya di pakai sebagai lambang penting oleh kerajaan Mataram. Pada abad
ke-16, dua bilah cincin berpermata Merah dan Putih di wariskan oleh Raja
Majapahit kepada Ratu Jepara yang bernama Kalinyamat. Di kerajaan Mataran
sendiri, umbul-umbul Gula-Kelapa yang berwana Merah-Putih di wariskan oleh Ki
Ageng Tarub dan terus di muliakan oleh Sultan Agung serta Raja-Raja yang
meneruskannya.
Perlawanan rakyat yang di
pimpin oleh Pangeran Diponegoro pada abad ke-19 di mulai dengan barisan rakyat
yang mengibarkan umbul-umbul Merah-Putih berkibar di mana-mana. Rakyat
berkeyakinan bahwa Merah-Putih adalah pelindung mereka dari segala marabahaya.
Pada abad ke-19 itu pula, para pemimpin dan pengikut gerakkan Paderi di
Sumatera Barat banyak yang mengenakan sorban berwarna Merah dengan jubah
berwarna Putih, untuk menandai gerakan perlawanan kaum Paderi terhadap Belanda.
Menurut catatan Prof. H.
Muhammad Yamin di Sulawesi Selatan Raja Bone yang bernama Karrampeluwa pada
abad ke-15 juga sudah mengibarkan umbul-umbul berwarna Merah dan Putih di kiri
kanannya. Umbul-umbul Merah dan Putih itu di sebut sebagai Tjallae ri dan
Tjallae ri abeo.
Pada tahun 1920 di Negeri
Belanda Bendera Merah-Putih di kibarkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeniging) untuk menyatakan
cita-cita Indonesia Merdeka. Secara sederhana ketika itu dinyatakan bahwa Merah
berarti berani, sedang Putih melambangkan kesucian. Artinya keberanian di atas
kesucian.
Partai Nasional Indonesia
yang di dirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1927 juga menggunakan lambang
bendera Merah-Putih dan gambar kepala banteng ditengahnya. Sebelumnya, bendera
Merah-Putih dengan gambar kepala kerbau pernah pula di pakai oleh Perhimpunan
Indonesia di Negeri Belanda tahun 1922, seperti terlihat pada salah satu
dokumen yang di simpan oleh Dr. Mohammad Hatta.
Tidak heran bila pada
tanggal 28 Oktober 1928 bendera Merah-Putih di kibarakan oleh para pemuda
sebagai Bendera Kebangsaan. Semula bendera Merah-Putih di rencanakan akan
memakai gambar Garuda Rajawali terbang di tengahnya. Tetapi, kemudian di
putuskan untuk memakai lambang burung Garuda Rajawali itu secara terpisah.
Kelak lambang burung Garuda Rajawali inipun di bakukan sebagai lambang Negara,
lengkap dengan Amsal Tantular yang tertera pada pita di cengkraman Garuda yang
berbunyi : Bhinneka Tunggal Ika.
Di penghujung bulan
Desember 1941 para pemuka kebangsaan di daerah Gorontalo Sulawesi, berniat
mengadakan kongres, namun berhubung tersiar berita besar dari radio dan surat
kabar mengenai bala tentara Jepang telah menghancurkan pangkalan Amerika di
Pearl Harbour wilayah Amerika Serikat. Di sinilah awal dari lembaran hitam
kawasan asia dengan meletusnya perang dunia ke- II.
Suasana keruh yang di
timbulkan dari serangan tentara Jepang tesebut juga berimbas ketanah air, di
karenakan Indonesia adalah tanah jajahan Belanda. Begitu pula yang terjadi di
Sulawesi Utara tidak luput dari suasana keruh tersebut. Pada tanggal 10 Januari
1942 bertempat di Minahasa balatentara Jepang telah mendarat, namun sebelum
tentara Jepang berhasil menerobos daerah Gorontalo, pada tanggal 23 Januari
1942, para pemuka setempat telah memproklamirkan kemerdekaan. Rakyat Indonesia
telah bangkit di Sulawesi Utara! Sang Merah-Putih berkibar, rakyat bergembira,
Lagu kebangsaan Indonesia Raya mengalun setiap hari dengan kerasnya. Setiap rumah
maupun kantor pemerintah mengibarkan Sang Dwiwarna. Akibat dari perebutan
kekuasaan yang diprakarsai oleh tokoh setempatya yakni Kusno Dhanupoyo dan Nani
Wartabone, maka di daerah lain di Sulawesi terjadi serentetan perebutan
kekuasaan lainnya. Hari itu berkumandanglah lagu Kebangsaan Indonesia Raya di
bawah pimpinan Nani Wartabone di alun-alun. Suaranya parau yang disebabkan oleh
tangis haru. Kemerdekaan yang selama ini dirindukan oleh bangsa Indonesia,
ternyata telah dapat dirasakan oleh mereka yang berada di Gorontalo.
Pada bulan Pebruari 1942
sepuluh hari setelah pendaratan tentara Jepang di Sulawesi Selatan di tepi kota
Sungguminahasa, seorang anak mengibarkan Dwiwarna berdampingan dengan bendera
Jepang.
Masyarakat setempat
tertegun melihat ada dua bendera kecil yang berkibar di sebuah tiang bambu yang
sederhana dengan tali rami sepanjang satu setengan meter. Bendera apakah itu ?
Tanya orang-orang yang melihat bendera kecil tersebut . Pengibar cilik yang
saat itu baru berumur tujuh tahun menjawab dengan bangga : “ Oh Merah-Putih itu
bendera kita, Indonesia ! Yang pakai bola merah itu Bendera Jepang” mereka yang
menyaksikan masih belum percaya sampai ayah anak itu berujar : ”benarlah kata
anak saya ini, saudara-saudara. Yang disebelah itu bendera sendiri! Belanda
melarang kita mengibarkan, selain Bendera Merah, Putih, Biru ! Tetapi sekarang
kita boleh mengibarkannya kembali ……… “ Dan penduduk kampung yang terpencil
jauh dari Kota Ujungpandang (Makasar) itu merasa gembira. Pada hari itu setiap
rumah penduduk mengibarkan Merah-Putih dari kertas minyak.
Tetapi rasa gembira itu
tidak berlangsung lama, seminggu kemudian muncul sebuah mobil hitam
berpenumpang seorang opsir Jepang dari Angkatan Laut Kerajaan Jepang bernama
Kolonel Yamagata, tujuan Yamagata datang adalah memerintah ayah dari anak tadi
untuk segera kembali bekerja sebagai dokter di Makasar.
Siapa berani melawan
perintah penguasa Jepang? Mata Yamagata semakin menyipit dengan dahi berkerut
tatkala hendak meninggalkan rumah di pengungsian, matanya menatap dua bendera
yang berkibar “Siapa yang mengibarkan Merah-Putih ini”?, “Saya tuan” teriak
anak itu gembira.”Sekarang tarik lepas Merah-Putih itu, Cuma Hinomaru yang
boleh berkibar”, ujar Yamagata dengan kasar. Anak tersebut menarik tali rami
dengan keras sehingga Merah-Putih melayang dan jatuh di comberan dekat mulut
perigi. Merah-Putih menjadi kotor dan berlumpur sehingga tangis anak tersebut
meledak. Kolonel Yamagata mendengus pergi, dekat perigi dia berhenti, serta
menginjak kain Merah-Putih dengan sepatu bootnya. Kain Dwiwarna tersebut tidak
berwarna lagi kecuali berwarna Hitam legam. Anak itu tidak main sakit hati
melihat tersebut, puluhan pasang mata juga ikut merasa sakit hati dan menangis.
Dalam sakit hati inilah, anak tersebut menghujam tiang bendera satunya,
sehingga Hinomaru jatuh ke tanah, lalu dinjak-injaknya sampai lumat. Sejak saat
itu tidak satu pun Merah-Putih berkibar di rumah-rumah penduduk, namun kejadian
tersebut telah menumbuhkan semangat kebangsaan dalam dada setiap orang. Anak kecil
itu terus tumbuh dan dia adalah Purnawan Tjondronegoro.
Pada tanggal 14 Pebruari
1945 meletuslah pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar. Di bawah pimpinan Shodancho
Supriyadi dan Shodancho Muradi. Pada jam 3 pagi, setelah amunisi dibagikan
Supriyadi mulai memberikan komandonya agar setiap prajurit mulai menembakkan
sasarannya ketempat serdadu dan opsir Jepang tinggal, maka terjadilah
pertempuran di pagi buta itu dengan hebatnya.
Seorang Prajurit PETA
berpangkat Shodancho bernama Parto Harjono berhasil mengibarkan Bendera
Merah-Putih ketiang bendera di dalam halaman Daidan. Sang dwiwarna itu berkibar
megah, menggantikan si bola merah Hinomaru, bendera Jepang yang setiap hari
berkibar diatas tiang itu. Di bawah lambaian Merah-Putih inilah, para pemuda
Indonesia yang terdiri dari Prajurit PETA menyerang kedudukan Jepang, terdengar
teriak serta hiruk pikuk aba-aba dalam bahasa Jepang yang dikumandangkan dari
mulut Shodancho Supriyadi dan Muradi serta beberapa opsir PETA lainnya. Hari
itu tercatat sebuah kegagahan luar biasa yang lahir dari para prajurit PETA di
Blitar karena membela kebenaran dan kemerdekaan.
“Janji” Jepang untuk memerdekakan Indonesia yang di nyatakan sejak bulan
September 1944, ternyata hanya janji palsu, sehingga titik puncak perjuang
bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan terjadi pada pertengahan tahun 1945,
Bung Karno yang sejak semula memang tidak sepenuhnya mempercayai Jepang, tetap
berusaha mempertahankan koridor kewaspadaan dan pengamanan secara hati-hati agar
tidak membuat Jepang curiga, serta tetap menjalankan perannya sebagai ketua
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang memang di fasilitasi Jepang
berupa gedung di jalan Pejambon Jakarta Pusat untuk mengadakan pertemuan.
Sebagian pemuda
pejuang yang tidak memahami jalan pikiran Bung Karno, sejak tanggal 14 Agustus
1945 memberi tekanan kepada beliau untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia setelah mendengar berita kekalahan Jepang yang mulai tercium di
Jakarta pada minggu kedua bulan Agustus 1945. Namun, alasan yang paling utama
adalah agar jangan sampai di dahului pasukan sekutu untuk melucuti senjata
Jepang dan mengambil alih kekuasaan.
Pada tanggal 16
Agustus 1945, beberapa pemuda mendatangi Bung Karno dan kemudian membawa pergi
ke Rengasdengklok. Ibu Fatmawati dan Guntur yang masih bayi juga di bawa serta.
Beragam opini keluar atas kejadian tersebut, menurut biografi Bung Karno yang
di tulis oleh Cindy Adams, peristiwa ini di sebut sebaga penculikan oleh para
pemuda revolusioner, sedangkan ibu Fatmawati menyebut hal ini sebagai hijrah. Adam Malik mengistilahkan” Bung
Karno dan Bung Hatta di singkirkan ke Rengasdeklok”. Tetapi bagi para pemuda,
tindakkan itu dilakukan agar Bung Karno terbebas dari tekanan politik dan
memahami realitas perjuangan serta segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Kejadian ini terjadi di sebabkan oleh sikap Bung Karno yang tetap memilih jalan
negoisasi yang selama ini telah di rintisnya bersama pemimpin bangsa.
Sukarni, salah seorang pemuda yang ikut menjemput Bung Karno, ia adalah
seorang yang dianggap misterius, bila mengusulkan sesuatu selalu tampak
tergesa-gesa, dan agak memaksa agar usulanya diterima, ia juga kurang
memikirkan persiapan untuk tindakan-tindakannya. Bung Karno dibawa ke
Rengasdengklok sebuah desa di dekat Karawang.
Di Rengasdengklok, Bung Karno dan Bung Hatta di tempatkan di Rumah Djiauw
Kie Siong yang di pinjam oleh para pemuda, tidak jauh dari Markas PETA. Rumah
itu hampir tidak terlihat karena terlindung oleh pohon-pohon besar, dan terletak
persis disisi sungai Citarum.
Di luar para pemuda telah meminta Wedana menyiapkan upacara di halaman, dan
mengumpulkan rakyat di depan Markas PETA. Upacara yang di persiapkan para
pemuda itu digelar untuk menjadi panggung Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.
Siang harinya dilakukan upacara pengibaran bendera Merah-Putih, di pimpin
oleh Wedana Soedjono. Tetapi, karena upacara itu hanya di hadiri oleh sedikit
orang, para pemuda mengajak rakyat berjalan menuju alun-alun di depan
kawedanaan. Masyarakat yang berkumpul di alun-alun menjadi lebih banyak di
pimpin oleh Soeradji, Komandan PETA, bendera Merah-Putih dikibarkan di sana
sekali lagi.
Para pemuda bermaksud “menahan” Bung Karno di Rengasdengklok malam itu
“penahanan” itu hendak dilakukan karena Bung Karno tetap tidak bersedia
memproklamasikan kemerdekaan di Rengasdengklok.
Apabila hal itu terjadi, sejarah Indonesia barangkali akan mencatat hal
lain, di sinilah peran Ibu Fatmawati harus di perhitungkan dalam sejarah
perjuangan. Beliau menunjukan kondisi bayi Guntur yang sudah tampak lelah.
Dengan tutur lembut dan halus, Ibu Fatmawati meminta pengertian pemuda pejuang
untuk mengizinkan mereka kembali ke Jakarta malam hari itu juga.
Pada saat tiba kembali di Jakarta, lewat tengah malam Bung Karno mengundang
pertemuan di rumah laksamana Maeda, Panglima Besar Angkatan Laut Jepang di
Jawa. Sebelumnya Bung Karno, Bung Hatta dan Laksamana Maeda telah mengadakan
pertemuan dengan Jenderal Yamamoto, Kepala Pemerintah Militer Jepang.
Pada pertemuan dini hari di rumah Maeda tersebut, naskah proklamasi
dirumuskan. Beberapa anggota PPKI hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain.
Mr. Achmad Soebarjo Radjiman, Dr Sam Ratulangi, Prof Soepomo, Mr Latuharharry,
Dr Boentaran, Mr Iwa Kusumasumantri, sedangkan dari pemuda hadir antara lain,
Chaerul Saleh, BM Diah, dan Sukarni.
Bung Karno sudah menyiapkan naskah ringkas yang ditulis tangan. Terjadi
perdebatan seru, ada yang mengatakan naskah itu tidak revolusioner. Adapula
yang mengatakan bahwa pernyataan itu sangat abstrak dan tidak ada isinya.
Mengingat bahwa pekerjaan ini harus selesai sebelum fajar menyingsing.
Mereka kemudian menyepakati naskah yang diusulkan Bung Karno dengan beberapa
perubahan ringan. Naskah tersebut lalu diketik oleh Sajuti Melik, seorang
pemuda pejuang yang baru saja di bebaskan oleh kempetai dari tahanan di
Semarang. Sajuti pada saat itu adalah suami dari SK Trimurti. Nama Melik
hanyalah panggilan, karena ketika itu ada dua yang bernama Sajuti. Untuk
membedakan, satu di panggil Sajuti Melok, yang lain Sajuti Melik.
Suasana malam menegangkan tampak di beberapa tempat di Jakarta, dimana para
pemuda pejuang sedang berkumpul. Mereka semua seperti merasakan Ibu Pertiwi
sedang hamil tua. Kelahiran Republik Indonesia sudah semakin dekat. Di Kramat,
Kebon Sirih, Cikini, dan di tempat-tempat lain, para pemuda pejuang berkumpul
dan bersiap. Merdeka atau Mati!
Keesokan paginya, 17 Agustus 1945, beberapa pemimpin Bangsa Indonesia
berkumpul di rumah Bung Karno. Tidak salah lagi! Bung Karno sebagai pemimpin
Bangsa Indonesia akan menyatakan kedunia luas bahwa Republik Indonesia telah
lahir. Bangsa Indonesia telah Merdeka!
Ia bergabung dengan tamu-tamunya, mengenakan setelan jas putih dari bahan
drill dan mengenakan peci. Bung Hatta pun mengenakan setelan jas serupa, tanpa
peci. SK Trimurti yang hadir disitu, diminta untuk ikut mengibarkan bendera
sebagai representasi perempuan dalam perjuangan Bangsa. Akan tetapi dia menolak
karena tidak cukup berjasa untuk memperoleh kehormatan tersebut. Ia hanya membawa
bendera yang masih terlipat untuk diserahkan kepada pengibar bendera, setelah
itu beliau berdiri disamping Ibu Fatmawati.
Bendera Merah-Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati kemudian diikatkan ke
tali pengerek. Tiang bambu dihalaman rumah Jalan Pegangsaan Timur 56 kini Jalan
Proklamasi No. 56 itu sebetulnya terlalu pendek untuk bendera yang berukuran
2x3 meter itu. Pemuda Suhud lalu memegang bendera tersebut, lalu dikerek oleh
Pemuda Latief Hendraningrat yang berseragam
PETA.
Semua yang hadir mengiringi kibaran Merah-Putih dengan menyanyikan lagu
“Indonesia Raya”. Tak ada yang memimpin lagu, sehingga suara yang dihasilkan
terdengar sumbang. Suara sumbang juga disebabkan emosi yang meluap dari para
hadirin.
Semua terhenyak memandang Merah-Putih telah berkibar gagah dipuncak tiang
bambu. Dalam suasana yang mencekam itu, tepat pukul 10 pagi. Bung Karno
mengeluarkan secarik kertas yang terlipat dari saku jasnya, dan kemudian
membaca naskah pendek yang telah diketik dan dibubuhi beberapa coretan.
B.
Sekilas Tentang Sejarah Bendera
Pusaka
17 agustus
1945, bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta (sekarang Jalan
Proklamasi No. 56), tampak secarik kain berwarna Merah-Putih berukuran 2 x 3
meter yang berkibar dengan bebas sebebas rakyat indonesia yang memadati jalan
tersebut.
Karena pada
hari itulah kemerdekaan Bangsa Indonesia di umumkan, secarik kain itulah yang
kini disebut sebagai Bendera Pusaka
(sekarang bendera tersebut mengkerut menjadi berukuran 196 x 274 sentimeter).
Bendera yang
telah dibuat setahun sebelum Proklamasi ini sudah beberapa kali dikibarkan pada
tiang yang sama, dikarenakan balatentara Jepang ketika itu mulai mengizinkan
bendera Merah-Putih dikibarkan berdampingan dengan bendera kebangsaan Jepang,
pada hari – hari besar yang ditentukan oleh Jepang.
Bendera yang
dibuat dan dijahit sendiri oleh Fatmawati, Istri Bung Karno, ketika keluarga
itu baru kembali dari tempat pengasingan di Bengkulu, dan baru mulai tinggal di
Jakarta. Shimizu, seorang perwira Jepang yang menjabat sebagai kepala barisan
propaganda di Gunseikanbu (Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Sumatera),
berkata : “bikin bendera yang paling besar ya!”
Permintaan
Shimizu untuk membuat bendera Merah-Putih yang besar itu, sesungguhnya sesuai
dengan “janji kemerdekaan” yang telah dinyatakan Jepang secara terbuka pada
September 1944, dimana rakyat di izinkan mengibarkan bendera Merah-Putih
berdampingan dengan bendera Jepang pada hari – hari besar.
Untuk
mendapatkan cita atau bahan kain untuk membuat bendera besar yang yang pantas
dikibarkan di halaman luas rumah besar Pegangsaan Cikini tersebut cukup sulit
selama pendudukan Jepang. Rakyat Indonesia bahkan menggunakan pakaian yang
dibuat dari bahan karung atau goni, disebabkan kelangkaan tekstil pada masa itu.
Shimizu lalu
memerintahkan seorang Perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih
secukupnya, untuk diberikan kepada Ibu Fatmawati. Dua blok kain merah dan putih
dari katun halus itu setara dengan jenis primissima untuk batik tulis halus
yang diperoleh dari sebuah gudang di Jalan Pintu Air Jakarta Pusat, yang
kemudian diantarkan oleh Chaerul Shaleh ke Pegangsaan.
Peran Ibu
Fatmawati yang ketika itu berusia 22 tahun yang mampu melunakkan hati para
Perwira Jepang, merupakan modal penting dalam mendampingi perjuangan Bung
Karno.
Ketika membuat
bendera besar itu, Ibu Fatmawati sedang hamil tua mengandung bayinya yang
pertama. “menjelang kelahiran Guntur, disaat usia kandungan mencukupi bulannya,
saya paksakan diri menjahit bendera Merah-Putih itu.” Ujar Ibu Fatmawati.
Dikarenakan kondisi fisiknya, dan juga karena ukuran bendera yang besar,
pekerjaan tersebut baru selesai dalam dua hari.
“Berulang kali
saya menumpahkan air mata diatas bendera yang sedang saya saya jahit itu.”
Kenang Ibu Fatmawati, titik-titik airmata beliau yang tumpah pada bendera
pusaka itu, lalu terajut kedalam benang-benang katun halus itu, merupakan
sumbangan seorang perempuan Indonesia kepada Bangsanya.
Ibu Fatmawati
mungkin tidak penah menduga bahwa bendera yang dijahitnya pada akhir tahun 1944
itu, ketika ia berumur 22 tahun, kelak mengukir sejarah dan menjadi pusaka bagi
bangsa Indonesia.
Setiap hari
sejak Proklamasi Kemerdekaan, Sang Merah-Putih hasil jahitan Ibu Fatmawati itu
selalu dikibarkan di pekarangan rumah Presiden Soekarno di Jalan pegangsaan
Timur 56. hujan kehujanan, panas kepanasan.
Pada tanggal 3
Januari 1946, ujian berat dihadapi Republik Indonesia, dikarenakan pasukan
sekutu yang dikirim ke Indonesia, ternyata disusupi oleh Pasukan Belanda.
Belanda kembali melncarkan agresi militernya, dikarenakan Pemerintah Hindia
Belanda tidak mengakui Kemerdekaan dan Kedaulatan Republik Indonesia.
Pengumuman
Pemerintah Republik Indonesia tertanggal 4 Januari 1946 berbunyi : “Berhubung
dengan keadaan di Kota Jakarta pada dewasa ini, Pemerintah Republik Indonesia
menganggap perlu akan Presiden dan Wakil Presiden berkedudukan di luar Jakarta.
Oleh sebab itu sejak kemarin Presiden dan Wakil Presiden telah berangkat ke
tempat kedudukannya yang baru di Yogyakarta.
Pada 4 Januari
1946 pagi, rombongan Presiden dan Wakil Presiden tiba di Yogyakarta, keluarga
Presiden Soekarno diantar ke Gedung Agung di ujung jalan Malioboro. Sedangkan
keluarga Wakil Presiden Mohammad Hatta diantar ke sebuah rumah yang telah
disediakan di sebelah utara Gedung Agung (sekarang menjadi Markas Korem
072/Pamungkas). Para Menteri tersebar di berbagai rumah penduduk.
Bendera
Merah-Putih yang dibawa dari Pegangsaan Timur pun kemudian dikibarkan setiap
hari di depan Gedung Agung. Berbeda dengan tiang kecil di Pegangsaan Timur,
tiang bendera besar dan tinggi di depan Gedung Agung tampak lebih sepadan untuk
bendera berukuran 2 x 3 meter itu.
Agresi Belanda
terus dilancarkan untuk menekan Pemerintah Republik Indonesia, yang mana
serangan terbesar terjadi pada tanggal 19 Desember 1948, sejak subuh pada hari
Minggu itu Belanda menggempur Yogyakarta dengan tembakan mitraliur dari
pesawat-pesawat terbang P-51 yang melintas rendah di atas Kota.
Yogyakarta
akhirnya jatuh. Presiden, Wakil Presiden, dan pemimpin-pemimpin besar yang lain
ditawan. Foto Bung Karno memegang bendera Merah-Putih ketika hendak naik ke jip
tentara Belanda di sebarluaskan oleh pihak Belanda, untuk mematahkan semangat
perjuangan Bangsa Indonesia.
Bung Karno
sempat melakukan aksi penyelamatan terhadap bendera Merah-Putih yang selama itu
telah berkibar di Gedung Agung, yaitu bendera yang pada tahun 1944 dijahit oleh
Ibu Fatmawati. Ia memanggil Husein Mutahar, Ajudan Presiden, dan menyerahkan
bendera itu dengan amanat untuk menyelamatkannya. Bendera itu mempunyai nilai
sejarah karena dikibarkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan.
Bung Karno mengatakan kepada Mutahar. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
pada diriku. Dengan ini aku memberi tugas kepadamu untuk menjaga bendera ini
dengan nyawamu. Bendera ini tidak boleh jatuh ketangan musuh. Disatu waktu,
jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikan kepadaku sendiri dan tidak
kepada siapapun, kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku
pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah
tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan kepadaku sebagaimana engkau
harus mengerjakannya.”
Dalam keadaan genting, Mutahar tidak bisa berpikir terlalu panjang untuk
melaksanakan tugas penyelamatan bendera yang diterimanya dari Presiden
Soekarno. Karena menganggap resikonya terlalu tinggi untuk mengungsi dibawah
Agresi Belanda dengan membawa Bendera Merah-Putih, maka Mutahar kemudian
membuka jahitan bendera itu. Rencananya, kain merah dan kain putih dari bendera
itu akan dipisah tempat penyimpanannya. Dalam benaknya, Mutahar berpikir bahwa
selama ia menjadi dua carik kain, maka ia tidak dapat disebut Bendera, sehingga
kecil kemungkinan dirampas Belanda.
Dengan bantuan Ibu Pernadinata, senang jahitan itu dibuka, sehingga kedua
carik kain merah dan putih itu terpisah. Mutahar meletakkannya masing-masing
carik kain pada bagian dasar dua tas yang kemudian diisinya penuh dengan
pakaian dan kelengkapan pribadi lainnya. Siap untuk dibawa mengungsi.
Setelah Presiden dan Wakil presiden ditangkap, lalu diterbangkan ke
Sumatera, giliran Mutahar dan Staf Presiden lainnya yang tertangkap. Mereka
dibawa kelapangan udara Maguwo, dan kemudian diterbangkan dengan pesawat Dakota
ke Semarang. Di Kota itu mereka semua menjadi tahanan Belanda. Mutahar berhasil melarikan diri
ke Jakarta, setelah hukumannya diringankan menjadi tahanan Kota.
Di Jakarta, Mutahar selalu mencari informasi tentang keberadaan Bung Karno
yang ketika itu sudah diasingkan Belanda ke rumah pengasingan di Mentok, Pulau
Bangka. Mengingat bahwa Bendera sebagai Lambang Negara dan juga kondisi sudah mulai
tenang, bendera yang mempunyai nilai sejarah tinggi harus selalu berada di
dekat Presiden Soekarno.
Mutahar kemudian meminjam mesin jahit milik seorang Dokter untuk menyatukan
dua carik kain merah dan putih kembali menjadi bendera, setelah menerima surat
pribadi dari Presiden Soekarno yang dibawa oleh Sudjono, yang mana isi surat
tersebut untuk di bawa ke Mentok.
Penjahitan dilakukan dengan sangat hati-hati untuk mengembalikan bendera ke
bentuk aslinya. Setelah bendera berhasil disatukan, lalu dibungkus dengan
kertaas Koran untuk menyamarkannya, dan diserahkan kepada Sudjono. (kelak pada
Tahun 1961, Husein Mutahar menerima Anugrah Bintang Mahaputera yang disematkan
sendiri oleh Presiden Soekarno, atas jasanya menyelematkan bendera itu.)
Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta,
beserta beberapa pemimpin Republik Indonesia tiba kembali dari pengasingan di
Yogyakarta. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 17 Agustus 1949, bendera
bersejarah itu dikibarkan kembali didepan Gedung Agung untuk memperingati
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke empat.
Nilai sejarah bendera Merah-Putih yang dikibarkan pada Proklamasi
Kemerdekaan mulai tampak jelas pada saat Bung Karno menempatkannya dalam sebuah
peti berukir, dan membawanya kembali ke Jakarta. Dalam foto documenter terlihat
bagaimana bendera itu dibawa turun keluar dari Pesawat Garuda Indonesian
Airways dengan upacara khidmat pada sore hari 28 Desember 1949 itu.
Rombongan Presiden Soekarno di elu-elukan Masyarakat sepanjang perjalanan
dari lapangan udara Kemayoran hingga Istana Koningsplein yang waktu itu disebut
sebagai Istana Gambir. “Merdeka! Merdeka!” pekik rakyat di sepanjang jalan.
Pada waktu itulah Bung Karno kemudian mengganti nama Gambir menjadi Istana
Merdeka, termasuk yang berada disekitar Istana juga dinamai merdeka, Medan
merdeka, dan Masjid Istiqlal yang dibangun kemudian (Istiqlal berarti Merdeka).
Sejak tahun 1958, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1958
tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia, Bendera Merah-Putih yang
dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, di
tetapkan sebagai Bendera Pusaka.
Sejak kembali ke Jakarta, Bendera Pusaka dikibarkan setiap tahun pada detik
– detik Proklamasi di Istana Merdeka.
Bendera Pusaka masih dikibarkan sekali lagi di Istana Merdeka pada tanggal
17 Agustus 1968. artinya, hanya dua kali dikibarkan dalam pemerintahan
Soeharto. Pada tahun 1969 di buatkan duplikat Bendera Pusaka dari bahan Sutera
Alam.
Semula, Duplikat Bendera Pusaka direncanakan dibuat dari Sutera alam dengan
seratus persen bahan dari Indonesia, termasuk zat pewarna alami dan tenun
dengan tangan tanpa sambungan, sehingga warna merah dan putih menyatu tanpa
dijahit. Tetapi, karena akan di bagikan keseluruh provinsi, dan berhubung
waktunya sudah mendesak, maka pembuatan Duplikat Bendera Pusaka itu terpaksa
dibuat di pabrik PT.Ratna di Bogor, di bawah penyeliaan Balai Penelitian
Tekstil Bandung.
Pada 5 Agustus 1969, Presiden Soeharto menyerahkan Duplikat Bendera Pusaka
dan Duplikat Naskah Proklamasi kepada para Gubernur seluruh Provinsi di
Indonesia, untuk di pergunakan di daerah masing – masing pada Upacara Hari
Proklamasi Kemerdekaan, dengan demikian, Bendera Pusaka tidak lagi dikibarkan,
serta kemudian dilestarikan sebagai Pusaka Bangsa yang tidak ternilai.
Sekarang Bendera Pusaka di istirahatkan di salah satu ruang khusus di
Istana Merdeka. Sebuah rencana kini tengah disiapkan untuk menempatkan Bendera
Pusaka dalam sebuah ruang khusus di dalam Monumen Nasional.
Dengan demikian, Bendera Pusaka akan memasuki masa “pensiun total”, ia
bahkan tidak lagi bertugas mengiringi pengibaran sang Merah-Putih tiap 17
Agustus di Istana Merdeka.